Jakarta//trans24.id – Editor Buku Sejarah Indonesia Jilid 10, Maman S. Mahayana, menghadiri acara Penetapan Hari Sejarah Nasional dan Soft Launching Buku Sejarah Indonesia oleh Kementerian Kebudayaan yang digelar di Gedung Kementerian Kebudayaan di Jakarta, Minggu (14/12/2025).
Usai acara, Maman menjelaskan bahwa Buku Sejarah Indonesia Jilid 10 memuat lintasan sejarah penting Indonesia pascareformasi, khususnya periode 1998 hingga 2002. Menurutnya, periode tersebut merupakan fase krusial yang menunjukkan karakter Indonesia sebagai bangsa yang problematik, namun sarat peluang dan tantangan.
“Peristiwa pascareformasi sampai tahun 2002 ini adalah lintasan sejarah yang sangat penting dan memberi wawasan bahwa Indonesia memang problematik, tetapi memiliki banyak kesempatan, peluang, dan tantangan,” ujar Maman.
Ia menyoroti peran Presiden ketiga RI, B.J. Habibie, yang menurutnya kerap disalahpahami sebagai perpanjangan tangan Orde Baru. Padahal, kebijakan yang diambil Habibie justru bertolak belakang dengan rezim sebelumnya.
“Awalnya Habibie mengesankan sebagai kaki tangan Orde Baru, padahal kebijakan yang ia jalankan sangat bertentangan, seperti kebebasan pers orang boleh bikin koran, bikin majalah pembebasan tahanan politik, dan demokratisasi,” jelasnya.
Maman menambahkan, Habibie juga berperan penting dalam memulihkan kepercayaan internasional terhadap Indonesia pascakrisis moneter.
“Saat kita terpuruk akibat krismon, Habibie datang ke mancanegara dan meyakinkan negara-negara lain bahwa Indonesia akan menjalankan demokrasi secara benar. Itu yang membuat dolar turun dan rupiah naik pada zamannya,” katanya.
Menurut Maman, fondasi demokrasi Indonesia sejatinya diletakkan pada masa Habibie, meskipun harus dibayar dengan konsekuensi berat, termasuk lepasnya Timor Timur.
“Masalah Timor Timur itu konsekuensi dari demokratisasi. Tidak ada pilihan lain, jalannya harus demokrasi. Lepasnya Timor Timur memang berdampak negatif, tetapi justru itu yang terbaik, karena secara sejarah dan pembiayaan, beban rehabilitasi Timor Timur jauh lebih besar dibandingkan daerah lain,
Ia juga menilai bahwa keberanian Habibie untuk tidak memanipulasi pemilu menjadi contoh penting kepemimpinan demokratis.
“Kalau Habibie mau, dia bisa saja memainkan pemilu, tapi kesadarannya tidak ke situ. Semua cerita itu ada di buku ini,” ujarnya.
Maman kemudian menyinggung kepemimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang menurutnya memperkuat demokratisasi melalui pendekatan kebudayaan.
‘Konsep Gus Dur itu bukan kewilayahan, tapi kebudayaan. Nama Irian Barat dikembalikan ke Papua, Imlek dijadikan hari libur nasional, Konghucu diakui. Itu bentuk kesetaraan dan penghargaan.”
Ia mengapresiasi sikap Gus Dur setelah lengser dari jabatan presiden.
“Setelah digulingkan, Gus Dur tidak menyimpan dendam. Dia menunjukkan bahwa pemimpin harus siap naik dan siap turun. Kepemimpinan itu amanah, bukan kekuasaan.”
Menurut Maman, kekuatan demokrasi Indonesia semakin kokoh berkat Fondasi yang diletakkan Habibie dan Gus Dur, sehingga presiden-presiden setelahnya tinggal menjalankan.
“Megawati dan SBY tinggal menjalankan pondasi itu: KPK, Mahkamah Konstitusi, pemisahan TNI dan Polri. Pemilu berjalan relatif aman, tidak seperti zaman Orde Baru.”
Ia menilai Megawati juga menunjukkan jiwa besar dengan tidak merekayasa kekuasaan meski memiliki peluang.
“Kalau mau jahat, dia bisa. Tapi dia tidak melakukan itu. Itu yang membuat demokrasi kita relatif tenang.”
Menutup pernyataannya, Maman menyampaikan harapannya kepada pemimpin nasional saat ini agar memiliki kemandirian dan keberanian dalam bersikap.
“Harapan saya kepada presiden sekarang adalah keberanian dan kemandirian. Jangan ada bayang-bayang yang membuat pemimpin tidak bebas bergerak. Habibie dan Gus Dur itu lepas, dan karena itu demokratisasi berjalan. Itu yang belum terlihat sekarang.”













