JAKARTA//trans24.id – Apa jadinya, kalau gorong-gorong yang terbuat dari pasir dan semen, diperbaiki saat musim penghujan? Mestinya, diperbaiki jauh sebelum musim hujan dan rob datang. Saat kemarau, ketika hari “panas manggatang”, sehingga semen dan pasir cepat kering, tidak melebur menjadi bubur bersama air hujan.
Lagi-lagi dengan alasan keterlambatan turunnya proyek dan anggaran, akhirnya dikerjakan saat musim penghujan. Tidak peduli apapun, pokoknya harus selesai diakhir tahun anggaran, kalau tidak dikerjakan kena finalti, dianggap penyimpangan.
Berpuluh tahun tata kelola pemerintahan diselenggarakan, masih belum bisa merencanakan kapan proyek fisik mestinya dilaksanakan, agar tidak terkendala cuaca dan musim.
Tapi begitulah bila tata kelola pemerintahan dilaksanakan dengan “kaca mata kuda”. Proses anggaran diperlambat, birokrasi dipersulit, akhirnya anggaran turun tidak tepat waktu. Pengawasnya juga pakai kaca mata kuda. Proyek harus terlaksana, harus terealisasi tepat waktu. Tidak peduli apakah setelahnya bertahan atau tidak, awet atau seumur jagung, efektif atau mubajir. Yang penting proyeknya sudah jalan, laporan pembangunannya sudah 100% tuntas di akhir tahun.
Kota tanpa gorong-gorong yang bagus, seperti pengendara motor tanpa helm. Sedikit saja jatuh dari motor, kecelakaan fatal akan terjadi, sebab kepala tidak terlindungi. Pun demikian dengan kota, kalau hujan hanya gerimis, tanah akan mudah menyerapnya. Tapi ketika curah hujan mulai banyak, diperlukan pengaman yang dapat mengalirkan air dengan cepat menuju sungai-sungai. Kalau tidak ada sarana yang menyalurkannya dengan cepat, jangan salahkan air tergenang, memenuhi halaman, bahkan rumah-rumah warga.
Sungai-sungai juga harus menjadi satu kesatuan dengan gorong-gorong. Semua gorong-gorong harus terhubung dengan sungai. Ketika gorong-gorong diperbaiki, kedalaman sungai juga mesti dijaga. Secara berkala lumpur dan sedimentasi yang membuat sungai dangkal, diangkat agar kedalamannya sesuai dan mampu menampung curah hujan, membawanya hingga ke muara.
Dahulu, jangankan sekedar gorong-gorong. Nenek moyang Banjar membuat sungai, anjir, handil, saka, dan lain-lain, sebab tahu bahwa air mesti mengalir dan dialirkan dengan saluran yang bagus.
Sekarang, jangankan membuat sungai. Justru sungai diuruk, ditumpuki sampah, ditutup bangunan rumah, ruko, dihambat oleh jembatan yang dibangun lepek, tidak memberi ruang bagi transportasi sungai.
Memperbaiki gorong-gorong disaat musim penghujan, sebenarnya memberitahukan kepada warga bahwa kota ini dikelola “sahibar” bancakan proyek, bukan dengan niat untuk menata, apalagi membangunnya menjadi kota yang nyaman dan aman dari bencana. (nm)













