Jakarta//trans24.id – Pemerintah terus memperkuat program imunisasi nasional sebagai upaya mencegah Kejadian Luar Biasa (KLB) Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi (PD3I) serta memperkuat ketahanan kesehatan nasional. Komitmen tersebut ditegaskan dalam kegiatan Media Briefing bertajuk “Imunisasi untuk Masa Depan: Mencegah Kejadian Luar Biasa PD3I dan Memperkuat Pertahanan Kesehatan Nasional” yang digelar di Direktorat Jenderal Sumber Daya Manusia Kesehatan (Ditjen SDMK), Hang Jebat, Jakarta Selatan, Jumat (19/12/2025).
Kegiatan ini menghadirkan Direktur Imunisasi Direktorat Jenderal Penanggulangan Penyakit, Indri Yogyaswari, serta Ketua Komite Imunisasi Nasional (ITAGI) sekaligus Guru Besar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Prof. Dr. dr. Sri Rezeki Hadinegoro, Sp.A(K)
Dalam paparannya, Indri Yogyaswari menegaskan bahwa imunisasi merupakan intervensi kesehatan yang terbukti efektif. Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), imunisasi mampu mencegah sekitar 2–3 juta kematian setiap tahun akibat penyakit seperti difteri, tetanus, dan pertusis.
“Pemerintah Indonesia berkomitmen menjamin perlindungan kesehatan anak melalui penguatan program imunisasi nasional untuk mencegah penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi,” ujar Indri.
Ia menjelaskan, PD3I merupakan kelompok penyakit berbahaya yang disebabkan oleh virus atau bakteri, seperti campak, polio, difteri, tetanus, pertusis, dan hepatitis B, yang dapat dicegah secara efektif melalui vaksinasi. Program imunisasi bertujuan melindungi anak-anak dan masyarakat dari risiko penyakit serius hingga kematian.
Indri menekankan bahwa imunisasi adalah hak anak yang dijamin oleh berbagai regulasi. UUD 1945 Pasal 28B ayat (2) menyebutkan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, serta memperoleh perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Sementara Pasal 28H ayat (1) menegaskan hak setiap orang untuk memperoleh pelayanan kesehatan.
Hak tersebut diperkuat melalui UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, serta UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Dalam UU Kesehatan, Pasal 44 ayat (2) menyatakan setiap bayi dan anak berhak memperoleh imunisasi, dan Pasal 44 ayat (3) menegaskan kewajiban keluarga, pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat untuk mendukung imunisasi.
Indri memaparkan bahwa imunisasi berkontribusi besar terhadap penurunan angka kematian balita di Indonesia. Angka kematian balita turun signifikan dari 83,9 per 1.000 kelahiran hidup pada 1990 menjadi 20,6 pada 2023.
Namun, ia mengingatkan bahwa pneumonia (36 persen) dan diare (10 persen), termasuk penyakit seperti campak dan difteri, masih menjadi penyebab utama kematian balita, terutama di daerah dengan cakupan imunisasi rendah.
Terkait capaian, Indri menyebutkan bahwa tren imunisasi bayi lengkap pada periode 2019–2024 masih perlu ditingkatkan. Hingga 14 Desember 2025, cakupan imunisasi bayi lengkap tercatat sebesar 68,6 persen.
Berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, alasan anak tidak diimunisasi antara lain karena keluarga tidak mengizinkan (47 persen), takut efek samping (45 persen), anak sedang sakit (23 persen), lupa atau tidak mengetahui jadwal imunisasi (23,4 persen), menganggap imunisasi tidak penting (22,8 persen), isu agama (12 persen), serta keterbatasan waktu (11,2 persen).
Selain itu, cakupan status imunisasi 12+ pada Wanita Usia Subur (WUS) baru mencapai sekitar 90 persen dan dinilai masih belum optimal. Pemerintah menargetkan cakupan imunisasi bayi lengkap sebesar 80 persen pada 2025 dan meningkat menjadi 85 persen pada 2026 guna memperkuat kekebalan komunitas.
“Keberhasilan imunisasi membutuhkan dukungan seluruh pihak, termasuk media dan jurnalis, untuk memenuhi hak anak mendapatkan imunisasi lengkap,” tegas Indri.
Dalam Rencana Strategis Kementerian Kesehatan 2025–2029, program imunisasi ditetapkan sebagai program prioritas dengan sejumlah indikator kinerja, antara lain cakupan imunisasi bayi lengkap 95 persen, imunisasi MR dosis pertama 95 persen, cakupan imunisasi HPV 90 persen, imunisasi lengkap 14 antigen 90 persen, imunisasi baduta 90 persen, imunisasi usia sekolah dasar 95 persen, serta 90 persen kabupaten/kota mencapai target kinerja surveilans PD3I.
Pada sesi berikutnya, Prof. Sri Rezeki Hadinegoro menjelaskan cara kerja vaksin kepada media. Ia menyampaikan bahwa vaksin diproduksi dari virus atau bakteri yang dilemahkan atau dimatikan.
“Vaksin akan merangsang sistem imun untuk memproduksi antibodi spesifik. Jika suatu saat virus atau bakteri yang sama masuk ke dalam tubuh, antibodi tersebut akan segera melawan dan menghancurkannya,” jelasnya.
Ia menekankan pentingnya edukasi kepada masyarakat, terutama terkait alasan imunisasi diberikan sejak bayi. Menurutnya, bayi sangat rentan terhadap penyakit infeksi berbahaya karena sistem imunnya belum cukup kuat melawan infeksi ganas yang dapat menimbulkan penyakit berat.
“Sistem imun bayi sebenarnya sudah siap merespons antigen, tetapi jumlahnya masih sangat sedikit. Pemberian berbagai antigen melalui imunisasi membantu respons imun bekerja lebih dini dalam membentuk antibodi,” pungkas Prof. Sri Rezeki.













