Pandeglang//trans24.id —Kabar meninggalnya seekor badak Jawa bernama Musofa di kawasan translokasi penangkaran Javan Rhino Study and Conservation Area (JRSCA) memantik reaksi dari berbagai kalangan, khususnya masyarakat Pandeglang dan para pemerhati lingkungan. Meski pihak Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) bersama para ilmuwan menyatakan bahwa kematian Mustofa disebabkan oleh penyakit bawaan, sebagian masyarakat tetap merasakan kegelisahan yang mendalam.
Salah satu aktivis Pandeglang, Panji Nugraha, menyampaikan tanggapan kritisnya atas peristiwa tersebut. Menurutnya, kematian Musofa bukan sekadar kehilangan satu individu satwa langka, namun juga menciptakan ruang ketidakpercayaan terhadap program translokasi dan pengelolaan badak Jawa yang oleh masyarakat Pandeglang dianggap sebagai aset kearifan lokal dan spiritualitas alam Banten.
Uuu“Kami memiliki sedikit rasa kurang percaya pada program pemerintah untuk badak yang kami anggap aset kearifan Pandeglang. Meski TNUK menyebut kematian Musofa akibat penyakit bawaan, bagi kami ada kekhawatiran bahwa kejadian ini bisa menimpa badak lainnya jika terus dipindahkan dari tempat asalnya,” ujar Panji.
Ia menilai bahwa masyarakat Pandeglang sejak dahulu memandang badak Jawa bukan hanya sebagai satwa langka, tetapi bagian dari penjaga alam yang memiliki hubungan keseimbangan dengan ekosistem Ujung Kulon. Karena itu, proses pemindahan yang dianggap “mengubah kehidupan alami” badak Jawa dinilai berpotensi mengganggu harmoni tersebut.
“Kami justru merasa aneh dengan kejadian yang menimpa Mustofa. Kami tidak yakin kehidupan mereka akan lebih baik setelah dipindahkan. Kami percaya badak lebih aman di alamnya sendiri, sepanjang manusia tidak tamak dan mampu menjaga jarak yang bijak,” lanjutnya.
Panji menekankan bahwa nilai kearifan lokal yang diyakini masyarakat Pandeglang tidak hanya berbicara soal pelestarian fisik satwa, namun menyangkut nilai spiritual alam, yakni keyakinan bahwa setiap makhluk memiliki tempat dan keseimbangan yang tidak boleh terganggu oleh modernisasi berlebihan.
“Badak bercula satu ini punya nilai kealamian dan kespiritualan. Jika ada campur tangan manusia yang berlebihan, kami khawatir justru merusak kebaikan yang selama ini dijaga oleh alam itu sendiri,” tegasnya.
Tidak berhenti di sana, Panji juga mengungkapkan kekhawatiran yang lebih besar. Menurutnya, perubahan-perubahan di kawasan Ujung Kulon, baik melalui program konservasi maupun aktivitas manusia lainnya, berpotensi mengganggu “kearifan alam” yang sejak dahulu menjadi kekuatan utama Ujung Kulon sebagai benteng terakhir badak Jawa.
“Kami takut dengan adanya perubahan atau pemindahan spesies, alam Ujung Kulon tidak lagi arif dan bisa terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti yang terjadi di daerah lain. Ini warisan alam masyarakat Pandeglang dan Banten. Jangan sampai suatu hari nanti warisan ini tenggelam,” pungkasnya.
Panji mengajak seluruh pihak, baik pemerintah, pengelola taman nasional, maupun masyarakat, untuk kembali menempatkan kearifan alam Ujung Kulon sebagai dasar pengambilan keputusan. Ia menegaskan bahwa pelestarian badak Jawa tidak cukup hanya mengandalkan pendekatan ilmiah, tetapi juga perlu memahami keterikatan sejarah, budaya, dan keseimbangan alami yang telah terjalin selama ratusan tahun.
Dengan meninggalnya Musofa, masyarakat Pandeglang berharap evaluasi mendalam dilakukan agar tidak ada lagi kehilangan satwa yang sangat bernilai tersebut. Lebih dari itu, mereka menyerukan agar Ujung Kulon tetap dipertahankan sebagai ruang alami yang lestari tanpa perubahan-perubahan yang berpotensi menyingkirkan kearifan dan roh alam yang menjadi identitasnya.
“Mari kita jaga bersama. Ini bukan hanya tentang badak, tetapi tentang warisan alam Ujung Kulon yang harus tetap hidup, arif, dan utuh untuk generasi Pandeglang dan Banten di masa depan.” pungkas (IRGI)













